Senin, 13 Mei 2013

TAWASSUL

TAWASSUL
Para ulama seperti al Imam al Hafizh Taqiyyuddin al Subki menegaskan bahwa tawassul, istisyfa’, istighatsah, isti’anah, tajawwuh dan tawajjuh, memiliki makna dan hakekat yang sama. Mereka mendefinisikan tawassul –dan istilah istilah lain yang sma – dengan definisi sbb:
“Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya.“ (Al Hafizh al Abdari, al Syarh al Qawim, hal 378). Sumber: Membongkar Kebohongan buku: “Mantan Kiai NU menggugat”; Tim Lembaga Bahtsul Masail PC NU Jember.
Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh ijma para sahabat radhiallahu ‘anhum, tidak pula oleh para tabi’in dan bahkan oleh para Ulama serta Imam-Imam besar Muhadditsin. Bahkan Allah memerintahkannya, Rasul saw mengajarkannya, Sahabat radhiallahu ‘anhum mengamalkannya.
Tak ada pula yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati. Karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yang tergolong benda) di hadapan Allah swt, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri.
Boleh berdoa dengan tanpa perantara, boleh berdoa dengan perantara, boleh berdoa dengan perantara orang shalih, boleh berdoa dengan perantara amal kita yang shalih, boleh berdoa dengan perantara Nabi saw, boleh pada shalihin, boleh pada benda. Misalnya: “Wahai Allah Demi kemiliaan Ka’bah”, atau “Wahai Allah Demi kemuliaan Arafah”, dll. (Sumber: Kenalilah Aqidahmu: Al Habib Munzir al Musawa).
Berdoa dengan bertawassul artinya memohon kepada Allah dengan menyebut sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah. Contohnya: “Ya Allah, berkat kebesaran Nabi-Mu Muhammad saw, mudahkanlah segala urusanku Yang Engkau ridhai.”
Seseorang yang bertawassul berarti mengaku bahwa dirinya penuh kekurangan. Dengan segala kekurangannya tsb, dia sadar bahwa doanya sulit dikabulkan. Oleh karena itu ia pun meminta syafa’at kepada sesuatu atau seseorang yang – menurut prasangka baiknya – dicintai Allah swt. Inilah hakikat tawassul. (sumber: Mana Dalilnya; Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus).
Tawassul adalah sebab (cara, sarana) yang dilegitimasi oleh syara’ sebagai sarana dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para Nabi & Wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau mereka sudah meninggal. Karena mukmin yang bertawassul tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara secara hakiki kecuali Allah. Para Nabi dan para Wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka. Ketika seorang Nabi atau wali masih hidup, Allah swt yang mengabulkan permohonan hamba. Demikian pula setelah mereka meninggal, Allah juga yang mengabulkan permohonan seorang hamba yang bertawassul dengan mereka, bukan Nabi atau Wali itu sendiri. (Sumber: Membongkar Kebohongan buku: “Mantan Kiai NU menggugat”; Tim Lembaga Bahtsul Masail PC NU Jember).
Baginda Nabi Muhammad saw melakukan tawassul
Dalam hadits dibawah ini akan disebutkan dengan jelas bahwa Rasulullah saw bertawassul dengan diri beliau sendiri dan dengan semua Nabi sebelum beliau, yang kesemuanya telah meninggal dunia kecuali Nabi Isa as. (Sumber: Mana Dalilnya; Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus).
Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir; Maktabatul Ulum wal Hikam, juz 24. cet II Mushil, 1983, hal. 351. Diceritakan sbb:
Ketika ibunda dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra yang bernama Fathimah binti Asad rha meninggal dunia, Rasulullah saw memberikan pakaiannya untuk dijadikan kain kafan. Kemudian beliau memerintahkan Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al Anshari, Umar bin Khaththab, dan seorang pemuda berkulit hitam untuk menggali lubang kubur. Mereka pun melaksanakan perintah Rasul saw. Namun ketika hendak menggali liang lahat, Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk berhenti. Kemudian dengan kedua tangannya yang mulia, beliau sendiri yang menggali liang lahat dan membuang tanahnya. Setelah selesai, beliau berbaring di dasar kubur dan kemudian berkata:
“Allah adalah yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan dan Dia Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad dan bimbinglah dia untuk mengucapkan hujjahnya serta luaskanlah kuburnya, DENGAN HAK (KEMULIAAN) NABI-MU DAN PARA NABI SEBELUMKU. Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dari semua yang berjiwa kasih.”
Setelah itu Rasulullah saw menshalatkan jenazah beliau dan memakamkannya dibantu oleh Abbas dan Abu Bakar Ash Shiddiq. (Hadits Riwayat Thabrani) Menurut Al Hafizh al Ghimari hadits ini merupakan hadits hasan, sedangkan menurut Ibnu Hibban adalah hadits shahih.
Tawassul para Sahabat radhiallahu ‘anhum dengan Baginda Nabi Muhammad saw setelah beliau saw wafat. (Sumber: Mana Dalilnya; Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus).
Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Ath Thabrani dalam Al Mu’jamus Shaghir; Maktabatul Islami Darul Ummar, juz 1. cet I Beirut, 1983, hal. 306. Diceritakan sbb:
Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Utsman bin Hunaif ra berkata:
Ada seorang lelaki tuna netra datang menemui Nabi saw dan meminta beliau untuk mendoakannya agar dapat melihat kembali. Pada saat itu Rasulullah saw memberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh atau bersabar dengan kebutaannya tersebut. Tetapi lelaki itu berkeras minta didoakan agar dapat melihat kembali.
Rasulullah saw kemudian memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik dan membaca doa berikut:
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada Mu dengan (bertawassul dengan) Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. (Duhai Rasul) Sesungguhnya aku telah bertawajjuh kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan) –mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafaat beliau untukku. (HR Tirmidzi dan Abu Dawud).
Imam Tirmidzi menyatakan hadits ini sebagai hadits hasan sahih. Imam Hakim dan Adz Dzahabi juga menyatakan hadits ini sebagai hadits shahih.
Dalam hadits di atas, Rasulullah saw mengajarkan cara kita bertawassul kepada beliau. Tawassul seperti ini tidak hanya berlaku ketika beliau masih hidup, akan tetapi juga dapat dilakukan setelah wafat beliau saw. Buktinya SEJUMLAH SAHABAT MENGGUNAKAN TAWASSUL INI SEPENINGGAL NABI MUHAMMAD SAW. Bahkan mereka mengajarkannya kepada orang lain.
Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam Thabrani menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang sering kali mengunjungi Khalifah Utsman bin Affan ra untuk menyampaikan kepentingannya. Tetapi khalifah Utsman bin Affan ra tidak sempat memperhatikannya.
Ketika bertemu dengan Ustman bin Hunaif, lelaki itu menceritakan permasalahan yang ia hadapi. Utsman bin Hunaif kemudian memerintahkan lelaki itu untuk berwudhu, mengerjakan shalat dua rakaat di masjid, membaca doa tsb di atas dan kemudian mendatanginya untuk diajak pergi menemui sayyidina Utsman bin Affan.
Setelah melaksankan saran Utsman bin Hunaif, lelaki itu pergi menghadap khalifah Utsman bin Affan ra. Sesampainya di depan pintu, penjaga menyambutnya, membawanya masuk dengan menggandeng tangannya. Sayyidina Utsman bin Affan ra kemudian mendudukkannya di permadani tipis di dekatnya dan kemudian bertanya kepadanya, “Apa Hajatmu ?” Setelah menyebutkan semua hajatnya, sayyidina Utsman ra pun memenuhi permintaanya. Kemudian beliau ra berkata, “Kenapa baru sekarang kau sampaikan hajatmu? Setiap kali kau butuhkan sesuatu, segeralah datang kemari.”
Ketika meninggalkan kediaman Sayyidina Utsman ra, lelaki itu bertemu dengan Utsman bin Hunaif ra. “Semoga Allah membalas kebaikanmu. Sebelum engkau ceritakan perihalku kepadanya, beliau tidak pernah memperhatikan hajatku maupun memandangku.” ujar lelaki itu kepada Utsman bin Hunaif.
Jawaban Utsman bin Hunaif: “Demi Allah, aku tidak mengatakan apapun kepadanya (Sayyidina Utsman bin Affan ra). Hanya saja aku menyaksikan seorang lelaki tuna netra datang menemuin Rasulullah saw mengeluhkan kebutaannya ...

0 komentar:

Posting Komentar