TAWASSUL
Para ulama seperti al Imam al Hafizh Taqiyyuddin al Subki menegaskan
bahwa tawassul, istisyfa’, istighatsah, isti’anah, tajawwuh dan
tawajjuh, memiliki makna dan hakekat yang sama. Mereka mendefinisikan
tawassul –dan istilah istilah lain yang sma – dengan definisi sbb:
“Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya
(keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali
untuk memuliakan (ikram) keduanya.“ (Al Hafizh al Abdari, al Syarh al
Qawim, hal 378). Sumber: Membongkar Kebohongan buku: “Mantan Kiai NU
menggugat”; Tim Lembaga Bahtsul Masail PC NU Jember.
Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah
diharamkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh ijma para sahabat
radhiallahu ‘anhum, tidak pula oleh para tabi’in dan bahkan oleh para
Ulama serta Imam-Imam besar Muhadditsin. Bahkan Allah memerintahkanny a, Rasul saw mengajarkannya, Sahabat radhiallahu ‘anhum mengamalkannya.
Tak ada pula yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati.
Karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda
(seperti air liur yang tergolong benda) di hadapan Allah swt, bukanlah
kemuliaan orang atau benda itu sendiri.
Boleh berdoa dengan tanpa
perantara, boleh berdoa dengan perantara, boleh berdoa dengan perantara
orang shalih, boleh berdoa dengan perantara amal kita yang shalih, boleh
berdoa dengan perantara Nabi saw, boleh pada shalihin, boleh pada
benda. Misalnya: “Wahai Allah Demi kemiliaan Ka’bah”, atau “Wahai Allah
Demi kemuliaan Arafah”, dll. (Sumber: Kenalilah Aqidahmu: Al Habib
Munzir al Musawa).
Berdoa dengan bertawassul artinya memohon kepada
Allah dengan menyebut sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah.
Contohnya: “Ya Allah, berkat kebesaran Nabi-Mu Muhammad saw, mudahkanlah
segala urusanku Yang Engkau ridhai.”
Seseorang yang
bertawassul berarti mengaku bahwa dirinya penuh kekurangan. Dengan
segala kekurangannya tsb, dia sadar bahwa doanya sulit dikabulkan. Oleh
karena itu ia pun meminta syafa’at kepada sesuatu atau seseorang yang –
menurut prasangka baiknya – dicintai Allah swt. Inilah hakikat tawassul.
(sumber: Mana Dalilnya; Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus).
Tawassul adalah sebab (cara, sarana) yang dilegitimasi oleh syara’
sebagai sarana dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan
para Nabi & Wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau
mereka sudah meninggal. Karena mukmin yang bertawassul tetap
berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan
bahaya secara secara hakiki kecuali Allah. Para Nabi dan para Wali tidak
lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan
ketinggian derajat mereka. Ketika seorang Nabi atau wali masih hidup,
Allah swt yang mengabulkan permohonan hamba. Demikian pula setelah
mereka meninggal, Allah juga yang mengabulkan permohonan seorang hamba
yang bertawassul dengan mereka, bukan Nabi atau Wali itu sendiri.
(Sumber: Membongkar Kebohongan buku: “Mantan Kiai NU menggugat”; Tim
Lembaga Bahtsul Masail PC NU Jember).
Baginda Nabi Muhammad saw melakukan tawassul
Dalam hadits dibawah ini akan disebutkan dengan jelas bahwa Rasulullah
saw bertawassul dengan diri beliau sendiri dan dengan semua Nabi sebelum
beliau, yang kesemuanya telah meninggal dunia kecuali Nabi Isa as.
(Sumber: Mana Dalilnya; Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus).
Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir;
Maktabatul Ulum wal Hikam, juz 24. cet II Mushil, 1983, hal. 351.
Diceritakan sbb:
Ketika ibunda dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra
yang bernama Fathimah binti Asad rha meninggal dunia, Rasulullah saw
memberikan pakaiannya untuk dijadikan kain kafan. Kemudian beliau
memerintahkan Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al Anshari, Umar bin Khaththab,
dan seorang pemuda berkulit hitam untuk menggali lubang kubur. Mereka
pun melaksanakan perintah Rasul saw. Namun ketika hendak menggali liang
lahat, Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk berhenti. Kemudian
dengan kedua tangannya yang mulia, beliau sendiri yang menggali liang
lahat dan membuang tanahnya. Setelah selesai, beliau berbaring di dasar
kubur dan kemudian berkata:
“Allah adalah yang Maha
Menghidupkan dan Maha Mematikan dan Dia Maha Hidup dan tidak akan pernah
mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad dan bimbinglah dia untuk
mengucapkan hujjahnya serta luaskanlah kuburnya, DENGAN HAK (KEMULIAAN)
NABI-MU DAN PARA NABI SEBELUMKU. Karena sesungguhnya Engkau Maha
Pengasih dari semua yang berjiwa kasih.”
Setelah itu Rasulullah saw
menshalatkan jenazah beliau dan memakamkannya dibantu oleh Abbas dan Abu
Bakar Ash Shiddiq. (Hadits Riwayat Thabrani) Menurut Al Hafizh al
Ghimari hadits ini merupakan hadits hasan, sedangkan menurut Ibnu Hibban
adalah hadits shahih.
Tawassul para Sahabat radhiallahu
‘anhum dengan Baginda Nabi Muhammad saw setelah beliau saw wafat.
(Sumber: Mana Dalilnya; Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus).
Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Ath Thabrani dalam Al Mu’jamus Shaghir;
Maktabatul Islami Darul Ummar, juz 1. cet I Beirut, 1983, hal. 306.
Diceritakan sbb:
Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Utsman bin Hunaif ra berkata:
Ada seorang lelaki tuna netra datang menemui Nabi saw dan meminta
beliau untuk mendoakannya agar dapat melihat kembali. Pada saat itu
Rasulullah saw memberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh
atau bersabar dengan kebutaannya tersebut. Tetapi lelaki itu berkeras
minta didoakan agar dapat melihat kembali.
Rasulullah saw kemudian memerintahkanny a untuk berwudhu dengan baik dan membaca doa berikut:
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada Mu dengan
(bertawassul dengan) Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang.
(Duhai Rasul) Sesungguhnya aku telah bertawajjuh kepada Tuhanku dengan
(bertawassul dengan) –mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah
syafaat beliau untukku. (HR Tirmidzi dan Abu Dawud).
Imam Tirmidzi
menyatakan hadits ini sebagai hadits hasan sahih. Imam Hakim dan Adz
Dzahabi juga menyatakan hadits ini sebagai hadits shahih.
Dalam
hadits di atas, Rasulullah saw mengajarkan cara kita bertawassul kepada
beliau. Tawassul seperti ini tidak hanya berlaku ketika beliau masih
hidup, akan tetapi juga dapat dilakukan setelah wafat beliau saw.
Buktinya SEJUMLAH SAHABAT MENGGUNAKAN TAWASSUL INI SEPENINGGAL NABI
MUHAMMAD SAW. Bahkan mereka mengajarkannya kepada orang lain.
Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam Thabrani menceritakan bahwa ada
seorang lelaki yang sering kali mengunjungi Khalifah Utsman bin Affan ra
untuk menyampaikan kepentingannya. Tetapi khalifah Utsman bin Affan ra tidak sempat memperhatikanny a.
Ketika bertemu dengan Ustman bin Hunaif, lelaki itu menceritakan
permasalahan yang ia hadapi. Utsman bin Hunaif kemudian memerintahkan
lelaki itu untuk berwudhu, mengerjakan shalat dua rakaat di masjid,
membaca doa tsb di atas dan kemudian mendatanginya untuk diajak pergi
menemui sayyidina Utsman bin Affan.
Setelah melaksankan saran Utsman
bin Hunaif, lelaki itu pergi menghadap khalifah Utsman bin Affan ra.
Sesampainya di depan pintu, penjaga menyambutnya, membawanya masuk
dengan menggandeng tangannya. Sayyidina Utsman bin Affan ra kemudian
mendudukkannya di permadani tipis di dekatnya dan kemudian bertanya
kepadanya, “Apa Hajatmu ?” Setelah menyebutkan semua hajatnya, sayyidina
Utsman ra pun memenuhi permintaanya. Kemudian beliau ra berkata,
“Kenapa baru sekarang kau sampaikan hajatmu? Setiap kali kau butuhkan
sesuatu, segeralah datang kemari.”
Ketika meninggalkan kediaman
Sayyidina Utsman ra, lelaki itu bertemu dengan Utsman bin Hunaif ra.
“Semoga Allah membalas kebaikanmu. Sebelum engkau ceritakan perihalku
kepadanya, beliau tidak pernah memperhatikan hajatku maupun
memandangku.” ujar lelaki itu kepada Utsman bin Hunaif.
Jawaban
Utsman bin Hunaif: “Demi Allah, aku tidak mengatakan apapun kepadanya
(Sayyidina Utsman bin Affan ra). Hanya saja aku menyaksikan seorang
lelaki tuna netra datang menemuin Rasulullah saw mengeluhkan kebutaannya
...
0 komentar:
Posting Komentar