ISTIGHATSAH
Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus menjelaskan dalam buku beliau; Mana Dalilnya; sbb:
Allah swt tidak pernah melarang kita untuk meminta tolong kepada
makhluk-Nya. Hanya saja, Allah mengingatkan seluruh hamba-Nya, bahwa
pada hakikatnya hanya Dia lah yang dapat memberi pertolongan.
Dalam
syariat, Istighatsah diartikan sebagai permintaan tolong kepada Nabi,
Rasul, atau orang saleh – yang masih hidup maupun yang telah meninggal
dunia – untuk mendoakan agar ia dapat memperoleh manfaat atau terhindar
dari keburukan dan lain sebagainya. (Intabih Dinuka fi Khathar; Abu
Abdillah Alwi Al Yamani; Darul Kutub, Shan’a, 1997 hal. 51).
Istighatsah Dengan Yang Hidup
Dalam Shahih Bukhari diceritakan bahwa pada suatu hari Jum’at, ketika
Rasulullah saw berdiri menyampaikan khutbah, tiba–tiba datang seorang
lelaki lewat pintu masjid yang menghadap langsung ke mimbar. Ia berdiri
tepat di hadapan Rasulullah saw kemudian berkata: “ Duhai Rasulullah,
hewan-hewan ternak telah binasa dan jalan–jalan terputus. Berdoalah
kepada Allah agar Ia menurunkan hujan kepada kita semua”. Rasulullah saw
mengangkat kedua tangannya dan berdoa ; “Ya Allah berilah kami hujan,
Ya Allah berilah kami hujan, Ya Allah berilah kami hujan.” Doa Rasul pun
terkabul, hujan turun selama seminggu hingga lelaki itu datang kembali
dan meminta Rasul untuk berdoa agar hujan berhenti.
Saudaraku, bukankah Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa setiap
muslim yang memohon kepada Nya, lalu mengapa lelaki itu tidak berdoa
sendiri? Dan mengapa Rasulullah saw tidak berkata: “Mintalah kepada
Allah secara langsung, tidak perlu meminta pertolonganku”.
Sebab lelaki itu menyadari bahwa dirinya penuh kekurangan. Ia sadar
bahwa dirinya belum memenuhi semua syarat terkabulnya doa. Rasulullah
saw tidak menolak permohonannya, sebab sudah menjadi tanggung jawab
setiap muslim, terutama pemimpinnya, untuk menolong saudaranya sesama
muslim dengan segenap kemampuan yang diberikan Allah swt kepadanya.
Inilah yang disebut dengan Istighatsah.
Istighatsah dengan Yang Telah Meninggal Dunia.
Jika kita oleh syariat diizinkan untuk meminta tolong kepada teman
kita, kepada guru kita, kepada kaum Sholihin, kepada para Malaikat, maka
meminta tolong kepada mereka yang telah meninggal dunia hukumnya juga
sama. Sebab, setelah meninggal dunia, mereka tetap saudara kita.
Kita mungkin melihat dan mendengar seseorang yang menziarahi sebuah
makam Waliyullah, seorang yang shaleh, kemudian berkata: “Wahai Syaikh
Fulan, doakan agar kami dapat menjadi muslim yang baik, dapat mendidik
anak-anak kami dengan benar ...”
Istighatsah semacam ini diizinkan
oleh syariat. Sebab pada intinya tidak ada perbedaan antara Istighatsah
dengan yang hidup atau dengan mereka yang telah meninggal dunia.
Al Habib Munzir Al Musawa dalam buku beliau: “Kenalilah Aqidahmu” menjelaskan sbb:
Pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya
adalah hal yang diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih,
dan diyakini mempunyai Manzilah di sisi Allah swt, tidak pula terikat ia
masih hidup atau telah wafat. Karena bila seseorang mengatakan ada
perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka
justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata. Karena seluruh
manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt, maka kehidupan dan
kematian tidak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat kecuali
dengan izin Allah swt. Ketika seseorang berkata bahwa orang mati tidak
bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka
dirisaukan ia telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan
adalah sumber manfaat dan kematian adalah mustahilnya manfaat. Padahal
manfaat dan mudharrat itu dari Allah. Dan kekuasaan Allah tidak dapat
dibatasi dengan kehidupan dan kematian.
Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus menjelaskan dalam buku beliau; Mana Dalilnya; sbb:
Pertama, Pada hakikatnya Para Nabi dan Kaum Shalihin yang dirihai Allah
adalah hidup di kuburnya. Allah swt berfirman dalam Al Qur’an Surat Ali
Imran ayat 169: “ Dan janganlah kamu kira orang-orang yang gugur di
jalan Allah itu mati, mereka bahkan hidup di sisi Tuhannya dengan
mendapat rezeki.”
Kedua, Yang mati masih dapat memberikan manfaat kepada yang masih hidup.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir; (Ismail bin Umar bin Katsir Ad Dimsyqi); juz
2, Darur Fikr, Beirut 1401 H , hal. 388. Beliau, Ibnu Katsir ra ketika
menafsirkan ayat 105 Surat At taubah yang berbunyi, “Dan katakanlah,
beramallah kalian, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang yang
beriman akan melihat amal kalian.”
Beliau ketika menafsirkan ayat tsb berkata:
“Telah diriwayatkan bahwa semua amal orang yang masih hidup
dipertontonkan kepada keluarga dan kerabat mereka yang telah meninggal
dunia di alam barzakh, sebagaimana dinyatakan oleh Abu Dawud ath
Thayalisi.”
Selanjutnya Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus
menjelaskan bahwa dalam hadits dibawah ini dinyatakan bahwa yang mati
masih dapat mendoakan yang hidup. Ini merupakan salah satu bukti bahwa
mereka masih dapat bermanfaat bagi yang hidup.
“Sesungguhnya semua
amal kalian akan dipertontonkan kepada kerabat dan keluarga kalian di
kubur mereka. Jika (melihat) amal yang baik, mereka merasa bahagia
dengannya. Dan jika (melihat) amal yang buruk, mereka berdoa, “Ya Allah,
berilah mereka ilham (ide) untuk melakukan amal taat kepadamu.”
Abu Bakar bin Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Al Kufi dalam
Mushannif Ibnu Abi Syaibah menuliskan: Ibnu Abi Syaibah menyebutkan
bahwa pada masa pemerintahan Sayyidina Umar ra terjadi panceklik. Saat
itu Bilal bin Harits Al Muzani berziarah ke makam Rasulullah saw dan
berkata : “Duhai Rasulullah saw. Mintakan hujan kepada Allah untuk
umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa.” Tak lama kemudian ia
bermimpi bertemu dengan Nabi saw yang berkata kepadanya: “Temuilah Umar,
sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan bahwa mereka akan
memperoleh hujan.” Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan bahwa sanad hadits
ini shahih.
Dalam Atsar di atas disebutkan dengan jelas bahwa sahabat Bilal bin Harits al Muzani ber-istighatsah dengan Rasulullah saw jauh hari setelah beliau wafat dan tidak ada seorang sahabat pun yang menentangnya.
Tim Lembaga Bahtsul Masa’il PC NU Jember dalam buku : Membongkar
Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik”
juga memuat & menjelaskan hadits sbb:
“Diriwayatkan dari
Abdullah ra, Nabi saw bersabda: “Hidupku adalah kebaikan bagi kalian dan
matiku adalah kebaikan bagi kalian. Ketika aku hidup kalian melakukan
banyak hal lalu dijelaskan hukumnya melalui aku. Matiku juga kebaikan
bagi kalian, diberitahukan amal perbuatan kalian. Jika aku melihat amal
kalian baik maka aku memuji Allah karenanya. Dan jika aku melihat amal
kalian yang buruk, maka aku memohonkan ampun untuk kalian kepada Allah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazzar dalam Musnadnya. Hadits di atas
menunjukkan bahwa meskipun Rasulullah saw sudah meninggal, beliau tetap
bermanfaat bagi umatnya, seperti bisa mendoakan dan memohon ampun kepada
Allah untuk umatnya. Oleh karena itu dibolehkan bertawassul dan
ber-istighatsah dengan beliau, memohon didoakan oleh Beliau saw meskipun beliau sudah meninggal.
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, bahwa suatu ketika kaki beliau
terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada
beliau: “Sebutkanlah orang yang paling anda cintai.” Lalu Ibnu Umar
berkata: “Yaa Muhammad.” Maka seketika itu kaki beliau sembuh.
Hadits shahih ini diriwayatkan oleh Imam al Bukhari dalam al Adab al
Mufrad. Hadits di atas menunjukkan bahwa sahabat Abdullah bin Umar ra
melakukan Tawassul & Istighatsah dengan menggunakan redaksi Nida’
(memanggil) “Yaa Muhammad” yang artinya “adrikni bi du’aika yaa
Muhammad” (tolonglah aku dengan doamu kepada Allah wahai Muhammad). Hal
ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat. Sehingga hadits ini
menunjukkan bahwa bertawassul dan beristighatsah dengan Rasulullah saw
setelah beliau wafat meskipun dengan menggunakan redaksi nida’
(memanggil), yang berarti nida’ al mayyit (memanggil seorang Nabi atau
Wali yang telah meninggal) bukanlah termasuk syirik.
Al
Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith menjelaskan bahwa : Para Nabi as,
demikian pula orang-orang yang syahid, tetap hidup dalam kubur mereka,
yakni dengan kehidupan alam barzakh. Mereka mengetahui –apa yang Allah
kehendaki untuk mereka ketahui– terkait dengan berbagai keadaan di alam
ini. Pastinya, kehidupan para Nabi as, dan orang-orang yang mewarisi
mereka, lebih utuh dan lebih sempurna daripada kehidupan orang-orang
yang mati syahid , karena mereka memiliki kedudukan yang lebih tinggi
dibanding orang-oarng yang mati syahid. Dalilnya adalah firman Allah
swt: “Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberi nikmat
oleh Allah, (yaitu) para Nabi, Para Pecinta Kebenaran, Orang-orang yang
Mati Syahid, dan Orang-orang Shalih. Metreka itulah teman yang
sebaik-baiknya. ” – QS An Nisa : 69.
Dalam hadits-hadits shahih dinyatakan bahwa mereka tetap dalam kondisi
hidup, dan bumi tidak memakan hasad mereka. Anas ra mengatakan Nabi saw
bersabda: “Pada malam saat aku mengalami Isra’, aku menemui Musa as
berdiri di atas kuburnya di bukit pasir merah (Muslim: 2385).
Beliau
saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi bumi memakan jasad
para Nabi. (Disampaikan oleh Abu daud: 1047, An Nasai: 1374, Ibnu Majah:
1085, Ad Darimi: 1572, dan Ahmad: IV:8, dari riwayat Aus bin Aus ra).
Disebutkan pula dalam sebuah riwayat bahwa mereka pun bershalawat dan
beramal seperti mereka hidup. Diantaranya adalah sabda Nabi saw, “para
Nabi hidup dan shalat di kubur mereka.” (Disampaikan oleh Abu Ya’la
dalam al Musnad dari hadits riwayat Anas bin Malik ra).
Para
Ulama mengatakan, kwenyataan ini tidak bertentangan dengan ketentuan
bahwasanya akhirat bukan negeri Taklif (pembebanan) atas kewajiban
ataupun amal. Amal dapat terlaksana walau tanpa ada pembebanan, yakni
hanya untuk dinikmati.
Al Imam al Habib Abdullah bin Alawi al
Haddad (Shahibur Ratib) mengatakan: sesungguhnya manfaat yang diberikan
orang-orang yang sudah wafat kepada orang-orang yang masih hidup lebih
banyak daripada manfaat yang diberikan orang-orang hidup kepada mereka.
Karena orang-orang yang masih hidup sibuk dengan perhatian mereka pada
masalah rizqi hingga hal tsb terlalaikan. Sementara orang-orang yang
sudah wafat telah terlepas dari masalah rizqi duniawi dan tidak
memperdulikanny a lagi
kecuali berupa amal-amal shalih yang mereka persembahkan. Mereka tidak
memiliki keterkaitan (dengan masalah rizqi) kecuali dengan amal-amal
mereka itu, seperti halnya para malaikat.
Ketahuilah, pemaparan di
atas tidak bertentangan dengan sabda Nabi saw, “Jika anak Adam (manusia)
mati, terputuslah amalnya kecuali tiga.” (Disampaikan oleh Muslim: 1631
dan yang lainnya, dari hadits riwayat Abu Hurairah ra). Maksudnya, amal
seseorang untuk dirinya itu sendiri terputus, yaitu amal yang terkait
dengan beban kewajiban beramal untuk mendapatt ganjaran. Amal seperti
ini terputus baginya karena kematiannya. Adapun amalnya (orang yang
telah wafat) untuk orang lain, seperti doa dan permohonan ampunan yang
ia lakukan untuk orang yang masih hidup, pada hadits tersebut tidak
menunjukkan adanya keterputusan amal. Bahkan, sebagaimana telah
dipaparkan sebelumnya, amalnya tetap berlaku setelah mati. (Sumber:
Majalah Al Kisah no. 01, tanggal 11-24 Januari 2010)
0 komentar:
Posting Komentar