Senin, 13 Mei 2013

ISTIGHATSAH

ISTIGHATSAH
Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus menjelaskan dalam buku beliau; Mana Dalilnya; sbb:
Allah swt tidak pernah melarang kita untuk meminta tolong kepada makhluk-Nya. Hanya saja, Allah mengingatkan seluruh hamba-Nya, bahwa pada hakikatnya hanya Dia lah yang dapat memberi pertolongan.
Dalam syariat, Istighatsah diartikan sebagai permintaan tolong kepada Nabi, Rasul, atau orang saleh – yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia – untuk mendoakan agar ia dapat memperoleh manfaat atau terhindar dari keburukan dan lain sebagainya. (Intabih Dinuka fi Khathar; Abu Abdillah Alwi Al Yamani; Darul Kutub, Shan’a, 1997 hal. 51).
Istighatsah Dengan Yang Hidup
Dalam Shahih Bukhari diceritakan bahwa pada suatu hari Jum’at, ketika Rasulullah saw berdiri menyampaikan khutbah, tiba–tiba datang seorang lelaki lewat pintu masjid yang menghadap langsung ke mimbar. Ia berdiri tepat di hadapan Rasulullah saw kemudian berkata: “ Duhai Rasulullah, hewan-hewan ternak telah binasa dan jalan–jalan terputus. Berdoalah kepada Allah agar Ia menurunkan hujan kepada kita semua”. Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan berdoa ; “Ya Allah berilah kami hujan, Ya Allah berilah kami hujan, Ya Allah berilah kami hujan.” Doa Rasul pun terkabul, hujan turun selama seminggu hingga lelaki itu datang kembali dan meminta Rasul untuk berdoa agar hujan berhenti.
Saudaraku, bukankah Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa setiap muslim yang memohon kepada Nya, lalu mengapa lelaki itu tidak berdoa sendiri? Dan mengapa Rasulullah saw tidak berkata: “Mintalah kepada Allah secara langsung, tidak perlu meminta pertolonganku”. Sebab lelaki itu menyadari bahwa dirinya penuh kekurangan. Ia sadar bahwa dirinya belum memenuhi semua syarat terkabulnya doa. Rasulullah saw tidak menolak permohonannya, sebab sudah menjadi tanggung jawab setiap muslim, terutama pemimpinnya, untuk menolong saudaranya sesama muslim dengan segenap kemampuan yang diberikan Allah swt kepadanya. Inilah yang disebut dengan Istighatsah.
Istighatsah dengan Yang Telah Meninggal Dunia.
Jika kita oleh syariat diizinkan untuk meminta tolong kepada teman kita, kepada guru kita, kepada kaum Sholihin, kepada para Malaikat, maka meminta tolong kepada mereka yang telah meninggal dunia hukumnya juga sama. Sebab, setelah meninggal dunia, mereka tetap saudara kita.
Kita mungkin melihat dan mendengar seseorang yang menziarahi sebuah makam Waliyullah, seorang yang shaleh, kemudian berkata: “Wahai Syaikh Fulan, doakan agar kami dapat menjadi muslim yang baik, dapat mendidik anak-anak kami dengan benar ...”
Istighatsah semacam ini diizinkan oleh syariat. Sebab pada intinya tidak ada perbedaan antara Istighatsah dengan yang hidup atau dengan mereka yang telah meninggal dunia.
Al Habib Munzir Al Musawa dalam buku beliau: “Kenalilah Aqidahmu” menjelaskan sbb:
Pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yang diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih, dan diyakini mempunyai Manzilah di sisi Allah swt, tidak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat. Karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata. Karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt, maka kehidupan dan kematian tidak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat kecuali dengan izin Allah swt. Ketika seseorang berkata bahwa orang mati tidak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka dirisaukan ia telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan kematian adalah mustahilnya manfaat. Padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah. Dan kekuasaan Allah tidak dapat dibatasi dengan kehidupan dan kematian.
Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus menjelaskan dalam buku beliau; Mana Dalilnya; sbb:
Pertama, Pada hakikatnya Para Nabi dan Kaum Shalihin yang dirihai Allah adalah hidup di kuburnya. Allah swt berfirman dalam Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 169: “ Dan janganlah kamu kira orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, mereka bahkan hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.”
Kedua, Yang mati masih dapat memberikan manfaat kepada yang masih hidup.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir; (Ismail bin Umar bin Katsir Ad Dimsyqi); juz 2, Darur Fikr, Beirut 1401 H , hal. 388. Beliau, Ibnu Katsir ra ketika menafsirkan ayat 105 Surat At taubah yang berbunyi, “Dan katakanlah, beramallah kalian, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat amal kalian.”
Beliau ketika menafsirkan ayat tsb berkata:
“Telah diriwayatkan bahwa semua amal orang yang masih hidup dipertontonkan kepada keluarga dan kerabat mereka yang telah meninggal dunia di alam barzakh, sebagaimana dinyatakan oleh Abu Dawud ath Thayalisi.”
Selanjutnya Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus menjelaskan bahwa dalam hadits dibawah ini dinyatakan bahwa yang mati masih dapat mendoakan yang hidup. Ini merupakan salah satu bukti bahwa mereka masih dapat bermanfaat bagi yang hidup.
“Sesungguhnya semua amal kalian akan dipertontonkan kepada kerabat dan keluarga kalian di kubur mereka. Jika (melihat) amal yang baik, mereka merasa bahagia dengannya. Dan jika (melihat) amal yang buruk, mereka berdoa, “Ya Allah, berilah mereka ilham (ide) untuk melakukan amal taat kepadamu.”
Abu Bakar bin Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Al Kufi dalam Mushannif Ibnu Abi Syaibah menuliskan: Ibnu Abi Syaibah menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Sayyidina Umar ra terjadi panceklik. Saat itu Bilal bin Harits Al Muzani berziarah ke makam Rasulullah saw dan berkata : “Duhai Rasulullah saw. Mintakan hujan kepada Allah untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa.” Tak lama kemudian ia bermimpi bertemu dengan Nabi saw yang berkata kepadanya: “Temuilah Umar, sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan bahwa mereka akan memperoleh hujan.” Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
Dalam Atsar di atas disebutkan dengan jelas bahwa sahabat Bilal bin Harits al Muzani ber-istighatsah dengan Rasulullah saw jauh hari setelah beliau wafat dan tidak ada seorang sahabat pun yang menentangnya.
Tim Lembaga Bahtsul Masa’il PC NU Jember dalam buku : Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik” juga memuat & menjelaskan hadits sbb:
“Diriwayatkan dari Abdullah ra, Nabi saw bersabda: “Hidupku adalah kebaikan bagi kalian dan matiku adalah kebaikan bagi kalian. Ketika aku hidup kalian melakukan banyak hal lalu dijelaskan hukumnya melalui aku. Matiku juga kebaikan bagi kalian, diberitahukan amal perbuatan kalian. Jika aku melihat amal kalian baik maka aku memuji Allah karenanya. Dan jika aku melihat amal kalian yang buruk, maka aku memohonkan ampun untuk kalian kepada Allah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazzar dalam Musnadnya. Hadits di atas menunjukkan bahwa meskipun Rasulullah saw sudah meninggal, beliau tetap bermanfaat bagi umatnya, seperti bisa mendoakan dan memohon ampun kepada Allah untuk umatnya. Oleh karena itu dibolehkan bertawassul dan ber-istighatsah dengan beliau, memohon didoakan oleh Beliau saw meskipun beliau sudah meninggal.
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yang paling anda cintai.” Lalu Ibnu Umar berkata: “Yaa Muhammad.” Maka seketika itu kaki beliau sembuh.
Hadits shahih ini diriwayatkan oleh Imam al Bukhari dalam al Adab al Mufrad. Hadits di atas menunjukkan bahwa sahabat Abdullah bin Umar ra melakukan Tawassul & Istighatsah dengan menggunakan redaksi Nida’ (memanggil) “Yaa Muhammad” yang artinya “adrikni bi du’aika yaa Muhammad” (tolonglah aku dengan doamu kepada Allah wahai Muhammad). Hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat. Sehingga hadits ini menunjukkan bahwa bertawassul dan beristighatsah dengan Rasulullah saw setelah beliau wafat meskipun dengan menggunakan redaksi nida’ (memanggil), yang berarti nida’ al mayyit (memanggil seorang Nabi atau Wali yang telah meninggal) bukanlah termasuk syirik.
Al Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith menjelaskan bahwa : Para Nabi as, demikian pula orang-orang yang syahid, tetap hidup dalam kubur mereka, yakni dengan kehidupan alam barzakh. Mereka mengetahui –apa yang Allah kehendaki untuk mereka ketahui– terkait dengan berbagai keadaan di alam ini. Pastinya, kehidupan para Nabi as, dan orang-orang yang mewarisi mereka, lebih utuh dan lebih sempurna daripada kehidupan orang-orang yang mati syahid , karena mereka memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding orang-oarng yang mati syahid. Dalilnya adalah firman Allah swt: “Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para Nabi, Para Pecinta Kebenaran, Orang-orang yang Mati Syahid, dan Orang-orang Shalih. Metreka itulah teman yang sebaik-baiknya.” – QS An Nisa : 69.
Dalam hadits-hadits shahih dinyatakan bahwa mereka tetap dalam kondisi hidup, dan bumi tidak memakan hasad mereka. Anas ra mengatakan Nabi saw bersabda: “Pada malam saat aku mengalami Isra’, aku menemui Musa as berdiri di atas kuburnya di bukit pasir merah (Muslim: 2385).
Beliau saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi bumi memakan jasad para Nabi. (Disampaikan oleh Abu daud: 1047, An Nasai: 1374, Ibnu Majah: 1085, Ad Darimi: 1572, dan Ahmad: IV:8, dari riwayat Aus bin Aus ra).
Disebutkan pula dalam sebuah riwayat bahwa mereka pun bershalawat dan beramal seperti mereka hidup. Diantaranya adalah sabda Nabi saw, “para Nabi hidup dan shalat di kubur mereka.” (Disampaikan oleh Abu Ya’la dalam al Musnad dari hadits riwayat Anas bin Malik ra).
Para Ulama mengatakan, kwenyataan ini tidak bertentangan dengan ketentuan bahwasanya akhirat bukan negeri Taklif (pembebanan) atas kewajiban ataupun amal. Amal dapat terlaksana walau tanpa ada pembebanan, yakni hanya untuk dinikmati.
Al Imam al Habib Abdullah bin Alawi al Haddad (Shahibur Ratib) mengatakan: sesungguhnya manfaat yang diberikan orang-orang yang sudah wafat kepada orang-orang yang masih hidup lebih banyak daripada manfaat yang diberikan orang-orang hidup kepada mereka. Karena orang-orang yang masih hidup sibuk dengan perhatian mereka pada masalah rizqi hingga hal tsb terlalaikan. Sementara orang-orang yang sudah wafat telah terlepas dari masalah rizqi duniawi dan tidak memperdulikannya lagi kecuali berupa amal-amal shalih yang mereka persembahkan. Mereka tidak memiliki keterkaitan (dengan masalah rizqi) kecuali dengan amal-amal mereka itu, seperti halnya para malaikat.
Ketahuilah, pemaparan di atas tidak bertentangan dengan sabda Nabi saw, “Jika anak Adam (manusia) mati, terputuslah amalnya kecuali tiga.” (Disampaikan oleh Muslim: 1631 dan yang lainnya, dari hadits riwayat Abu Hurairah ra). Maksudnya, amal seseorang untuk dirinya itu sendiri terputus, yaitu amal yang terkait dengan beban kewajiban beramal untuk mendapatt ganjaran. Amal seperti ini terputus baginya karena kematiannya. Adapun amalnya (orang yang telah wafat) untuk orang lain, seperti doa dan permohonan ampunan yang ia lakukan untuk orang yang masih hidup, pada hadits tersebut tidak menunjukkan adanya keterputusan amal. Bahkan, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, amalnya tetap berlaku setelah mati. (Sumber: Majalah Al Kisah no. 01, tanggal 11-24 Januari 2010)

0 komentar:

Posting Komentar